Pages

Subscribe:

Sabtu, 18 Februari 2012

Guru Digugu dan Ditiru…, Kuncinya

PADANG, KOMPAS.com — Sosiolog dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Silfia Hanani, mengatakan, dalam pengembangan pendidikan berkarakter, yang terpenting diperlukan adalah keteladanan. Kemampuan guru menjadi teladan, menjabarkan eksistensi manusia yang baik kepada peserta didik.

Perlu mempertimbangkan orang lokal atau daerah setempat yang bisa menjelaskan nilai-nilai dan bisa menjadi figur. Bahkan, kalau perlu, orang yang paham adat budaya di daerah itu.
– Silfia Hanani
Dosen Pascasarjana Sosiologi di Universitas Andalas ini menambahkan, tenaga pengajar/guru yang menangani pendidikan karakter tidak mesti harus dilatih khusus, karena kalau dilatih akan berbicara teori lagi. Namun, sebaiknya guru dalam pendidikan karakter diambil dari orang-orang yang telah teruji mampu menjabarkan nilai-nilai. Terkait itu, guru harus memanfaatkan kearifan lokal dalam bentuk-bentuk terpuji dan mengangkat tokoh-tokoh yang bisa dicontoh.
“Kearifannya yang kita gali supaya bisa ditularkan kepada anak didik,” katanya.
Silfia mencontohkan, baju datuk di Minang berwarna hitam ada alasannya, begitu juga dengan jahitannya yang lurus dan tidak bersaku (kantong). Menurut dia, makna itu semua yang disebut kearifan lokal dan bukan berarti mempraktikkan ke semua.
“Jahit lurus artinya adil dalam bertindak, bagaimana harus adil? Kemudian tidak berkantong, karena nilai filosofisnya dilarang menerima sogokan, sedangkan celana lebar agar cepat bersikap. Seorang datuk harus cepat bersikap karena masyarakat membutuhkan kepastian,” papar Silfia.
Karena itu, lanjut dia, guru harus sudah teruji mampu memaknai nilai-nilai dalam kearifan lokal daerah. Sebab, jika diambil dari tamatan akademik, kenyataannya lebih dominan teori, sedangkan dalam pendidikan karakter, nilai-nilai dan contoh dalam perilaku dan sikaplah yang dibutuhkan.
“Guru-guru yang diambil perlu mempertimbangkan orang lokal atau daerah setempat yang bisa menjelaskan nilai-nilai dan bisa menjadi figur. Bahkan, kalau perlu, orang yang paham adat budaya di daerah itu,” kata Silfia.
Ia mengatakan, saat ini hidup masyarakat berada di tengah keterpaksaan, bukan di tengah kesadaran. Ibarat melintasi lampu lalu lintas di jalan raya, kata Silfia, orang takut bukan karena patuh, melainkan takut karena polisi. Jika polisi tidak berada di perempatan jalan, orang kebanyakan tetap melaju meskipun lampu merah. Padahal, mestinya mereka sadar lampu lalu lintas untuk keselamatan dan keteraturan.
“Nilai-nilai harus diamalkan dengan kesadaran, bukan karena keterpaksaan. Inilah yang penting dibangun dalam pendidikan karakter,” katanya.

0 komentar:

Posting Komentar